Selasa, 25 November 2014

Indonesia Superior Berkat Rudal Yakhont




28 Februari 2014
“Bloody hell thats a big missile!”…. “I thought “DAMN! That thing looks as big as the vessel!”. ..”Big missile and bloody fast from watching that vid”.
Itulah komentar sejumlah pemerhati militer internasional, setelah melihat rudal Yakhont di KRI Oswald Siahaan-354 (eks Fregat Van Speijk), yang berlayar di Samudera Hindia dengan melakukan formasi tempur bersama KRI Imam Bonjol-383, KRI Teuku Umar-385, serta KRI Sultan Thaha Syaifuddin-386.


Pakar militer Singapura, Koh Swee Lean Collin menyatakan, ujicoba rudal supersonik Yakhont anti kapal ini, telah menerobos batas kemampuan tempur laut di Asia Tenggara. “The Yakhont missile could potentially intensify the ongoing regional naval arms competition, ujar Koh Swee Lean Collin.


Betapa menggentarkan bagi negara lain, rudal yakhont asal Rusia ini memiliki panjang 8,9 meter, lebar 0,8 meter dengan berat 3 ton. Rudal Yakhont memiliki jangkauan tembak 300 km dengan kecepatan 2,5 mach.


Dalam ujicoba di Samudera Hindia 20 April 2011, rudal supersonik ini hanya membutuhkan waktu 6 menit, untuk menembak sasaran sejauh 250 Km. Karena kemampuannya itulah hegemoni angkatan laut negara di Asia tenggara telah dipatahkan oleh kemampuan rudal Yakhont. Hal ini berbahaya bagi beberapa negara Asean yang sedang mengalami konflik perbatasan. Untuk saat ini posisi Indonesia Superior.
Rudal Yakhont dapat menjelajah 5- 15 meter dari permukaan laut, dengan 2,5 kecepatan suara, sehingga mampu memperpendek waktu peringatan dini bagi kapal yang sedang disasar.Lebih ngeri lagi rudal ini memiliki cara terbang yang unik sehingga mampu menghindar dari pendeteksian radar modern negara tetangga.



Vietnam juga memiliki rudal Yakhont namun ditanam di dalam tanah sebagai pertahanan. Sementara rudal Indonesia dapat bergerak dengan efektif sehingga mampu memperluas parameter pertahanan pantai. Rudal rudal buatan Eropa dan Amerika seperti Exocet dan Harpoon yang banyak digunakan kapal kapal Asean, hanya memiliki jangkuan tembak, tidak lebih dari 200 km.

Untuk di kawasan Non Asean, pasific barat, hanya China dengan rudal Sunburn dan Taiwan dengan rudal Hsiung Feng III yang dapat mengimbangi rudal yakhont Indonesia.

Dipasangnya rudal yakhont di TNI- AL, setelah malaysia meluncurkan kapal selam modern Scorpene dan Singapura dengan kapal selam Vastergotland boats eks Swedia.
Namun jangan senang dulu. Dalam tahun anggaran 2010, Indonesia baru membeli 4 Rudal Yakhont. Satu ditembakkan dalam ujicoba yang konon overshot karena KRI Oswald Siahaan-354 tidak memiliki radar sejauh 300 km. KRI Oswald Siahaan dipandu Kapal Selam Cakra dalam ujicoba tersebut, namun tidak optimal. Kini Indonesia tinggal memiliki 3 Rudal Yakhont. (Jkgr).

Senin, 24 November 2014

Australia Semakin Gundah dengan Modernisasi Alutsista TNI AU



Oleh : Marsda TNI (Purn) Prayitno Ramelan,  www.ramalanintelijen.net


Dasar pemikiran strategis dari Pimpinan TNI, khususnya TNI AU serta Kemenhan untuk memodernisasi daya pukul alutsista TNI AU membawa angin segar dalam bidang pertahanan Indonesia. Kebutuhan akan Angkatan Udara yang kuat dan disegani tersebut disetujui oleh Presiden SBY, dan kemudian mendapat apresiasi dan persetujuan DPR. Sebuah kesadaran dan kebersamaan yang cerdas dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Upaya untuk mencapai kekuatan pokok minimum, MEF (Minimum Essential Force) pertahanan masih menjadi fokus kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI ke depan.

Setelah melalui jalan panjang, TNI AU mulai dibenahi oleh pimpinan nasional yang melihat betapa pentingnya peran angkatan udara disebuah negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memainkan USAF sebagai sarana pendikte dan mementahkan kekuatan militer Libya, dalam membantu pemberontakan di Libya terhadap Kolonel Khadafi. Demikian juga operasi clandestine CIA yang menggunakan pesawat tanpa awak untuk mengejar dan membunuh tokoh-tokoh Al-Qaeda dinyatakan sukses dengan kerugian sangat minim.
 
Rudal Exocet (photo: ARC.web.id)

TNI AU mulai menggunakan keluarga Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah batalnya kontrak pembelian 12 unit Su-30MKI pada 1996. Kontrak tahun 2003 mencakup pembelian 2 unit Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK senilai 192 juta dolar AS tanpa paket senjata. Itulah awal kebangkitan kekuatan udara Indonesia dalam mengimbangi kekuatan udara negara tetangga.

Disamping itu Indonesia sudah menandatangani kerjasama dengan Korea Selatan, berpartisipasi membangun pesawat tempur generasi 4,5 KFX/IFX (Korean-Indonesian Fighter Xperimental), Boramae, yang dalam rencana awalnya TNI AU akan memiliki sebanyak 50 buah pada tahun 2020. Masa depan KFX/IFX Boramae menjadi tidak jelas setelah Pemerintah Korea Selatan menyatakan memotong anggaran proyek tersebut.

Dari sejarah Indonesia menyangkut kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, konflik dan ancaman kedaulatan negara hanya terjadi karena gesekan dengan negara tetangga. AU Indonesia mulai lebih disegani setelah acara MAKS 2007 di Moskow, dimana Departemen Pertahanan mengumumkan kontrak untuk pembelian 3 unit Sukhoi-27SKM dan 3 unit Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS. Kini TNI AU sudah memiliki 10 Sukhoi dan akan lengkap menjadi satu skadron pada 2014. Disamping pada 2014 mendatang, TNI AU akan memiliki 34 F-16 setara Block 52 ( 24 F-16 C/D asal dari hibah dan 10 upgrade F-16 TNI AU sepaket dengan hibah F-16).

Kegundahan Australia
Dalam meninjau ancaman, intelijen udara mengukur dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanan baik unsur penyerang maupun unsur pertahanan musuh ataupun calon musuh. Standar analisa intelijen udara di negara manapun menggunakan standar yang sama, 3K dan 1N(Niat). Sejak operasi Trikora pada 1961, Australia walaupun tidak secara langsung menempatkan Indonesia sebagai ancaman, mengatakan bahwa musuh akan datang dari Utara. Australia menggelar kekuatannya lebih fokus ke Utara, pengamatan wilayah dilakukan dengan over the horizon radar, yang mampu memonitor hingga pulau Jawa dan Kalimantan.
Sejak TNI AU mengikuti latihan bersama Pitch Black 2012, pemerintah Australia, khususnya RAAF merasakan kegundahan dan keterkejutan, dimana Su-30 TNI AU ternyata lebih unggul dibandingkan F-18F Super Hornet hampir disemua lini. Dari hasil latihan tersebut, Australia harus membuat pilihan, memilih rencana pengadaan 100 unit F-35 Lightning dari Amerika (joint strike fighter) atau tetap membeli dua skadron 24 F-18 Super Hornet.
The Business Spectator menyatakan, “Indonesia merencanakan akan membeli 180 pesawat tempur Sukhoi dari Rusia/India yaitu PAK-FA T-50 atau Su-35S. Jadi pertanyaannya lebih baik dipilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian dimasa depan ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan Su-35S atau T-50, maka AU Australia akan menjumpai masalah besar, demikian kesimpulannya.


 Siaran pers resmi yang ditulis harian Rossiiskaya Gazeta mengatakan bahwa T-50 akan menggabungkan fungsi dari peran sebagai pesawat serbu dan fungsi sebagai jet tempur. Pesawat ini dilengkapi dengan avionik modern yang mengintegrasikan fungsi elektronik dan array radar. Perlengkapan baru tersebut akan memberikan kesempatan kepada penerbang untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan tugas pertempuran.
 
Para pengamat militer di Australia menyatakan bahwa dalam memegang slogan RAAF (first look, first shoot, first kill’), para pejabat pertahanan harus berjuang keras mencari jalan keluar dengan tidak mempertahankan Hornet yang dianggap sudah ketinggalan jaman. Sukhoi oleh Australia dinilai terlalu hebat.


Lebih jauh analis Bisnis Spectator menyatakan, “Sebagai contoh, JSF (Joint Srike Fighter) dapat beroperasi secara efektif hanya untuk ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki (walau masih bisa beroperasi lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang lebih tinggi). Sebaliknya, Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh di tingkat yang jauh lebih tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan, mereka memiliki sistem dan senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF Australia sebelum mereka memiliki kesempatan menerapkan slogannya.” Ditegaskan oleh BS bahwa tidak ada pertempuran udara yang diperlukan. Pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya.

Jalan keluar yang disarankan adalah apabila Australia (RAAF) memiliki F-22 Raptor atau teknologi Raptor yang diterapkan pada pesawat tempur pilihan yang dipilih. Yang menjadi masalah, Amerika tidak mengijinkan F-22 dijual kepada negara lain selain untuk kepentingan pertahanan dalam negerinya.
Yang menarik, New Australia merekomendasikan Australia justru memilih Sukhoi seperti yang dilakukan India, mendapatkan lisensi dengan ijin membangun Sukhoi Australia, baik Sukhoi Flanker Su-35S atau pesawat Su-32 Fullback. Preferensi saat ini adalah Su-35S. Saat ini Sukhoi memberikan lisensi pembuatan pesawat tempur di India dan China. Australia bisa membeli utuh pesawat Sukhoi dan membangun avioniknya, dan persenjataan lokal. Kini banyak perusahaan di Rusia, Asia, Israel dan Eropa terlibat dalam pembuatan komponen Sukhoi. Sukhoi adalah ‘open source’,demikian menurut New Asia.

Dalam pemikiran strategis, Australia selain memandang Indonesia sebagai ancaman, juga menempatkan India sebagai ancaman. Selain itu perkembangan situasi Hankam di kawasan Laut Pasifik Selatan, menjadi perhatian Australia dengan kerjasamanya bersama Amerika. Pada pemerintahan Kevin Ruud Australia berposisi anti India, pada posisi ini menempatkan Australia terpaksa membeli F-35. Dalam pemerintahan Julian Gillard, Australia akan mendekati India dan menjadi sekutunya, berpeluang bisa mendapatkan peluang memiliki T-50. Australia menurut RBTH disarankan lebih baik memiliki Super Flankers yang murah (USD 66 juta/buah) dibandingkan harga F-35 (USD 238 juta/buah).

Sukhoi dinilai jauh lebih unggul dibandingkan JSF. Su-35 memiliki jangkauan efektif sekitar 4.000 km dibandingkan dengan hanya 2.200 km untuk F-35. . Ini berarti JSF membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk menutup ruang (wilayah Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu, kecepatan Su-35 adalah Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan suara), sedangkan F-35 terbatas pada Mach 1.6. Menurut Victor M. Chepkin, pertama wakil direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f baru akan memungkinkan jet Rusia untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner. Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya. Kesimpulannya baik F-35 maupun F-18 performance-nya berada dibawah Su-35.
Marsda TNI (Purn) Prayitno Ramelan
Kini Australia menghadapi dilema kegundahan. RAAF terus mengikuti perkembangan modernisasi TNI AU. Dengan memiliki keluarga Flankers, maka Indonesia pada masa mendatang bukan tidak mungkin akan bisa memiliki pesawat tempur Su-35, dan bahkan pesawat tempur T-50 generasi kelima. T-50 PAK FA jet tempur (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) kini sedang mengalami uji engine di Zhukovsky Airfield, Moscow. Menurut Viktor Bondarev, Commander in Chief Russian Air Force, tes T-50 akan memakan waktu sekitar 2-2,5 tahun, sehingga pada tahun 2015-2016, T-50 akan sudah dapat di kirim ke AU Rusia.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, nampaknya Australia kini berada dalam kondisi mengalami kegundahan seperti tahun 1961, dimana Tu-16 AURI mampu mencapai daratannya tanpa terdeteksi dan tidak dapat diantisipasi. Dengan memiliki gabungan alutsista tempur udara Timur dan Barat, Indonesia kini menjadi negara yang disegani negara-negara tetangganya.
Australia menjadi lebih gundah setelah mengetahui Indonesia tertarik untuk mendirikan sebuah pusat perawatan bersama untuk pesawat fixed dan rotary wing Rusia. Victor Komardin, wakil kepala Rosoboronexport, eksportir peralatan perang Rusia, telah mengumumkan hal tersebut di Air show LIMA 2013 di Malaysia.
Disimpulkan, dengan sudah mengawali kepemilikan keluarga Flankers (Su 27/30), Indonesia (TNI AU) menjadi negara yang sangat diperhitungkan oleh Australia dan pasti juga oleh tetangga lainnya. Alih teknologi ke pesawat yang lebih canggih hanyalah soal waktu yang tidak terlalu rumit dilakukan TNI AU apabila ada pengembangan kekuatan. Australia sangat khawatir Indonesia berpeluang memiliki Su-35 dan bukan tidak mungkin dengan ekonominya yang semakin baik, suatu saat Indonesia akan memiliki pesawat tempur T-50.
Memang sebaiknya intelijen udara berfikir jauh dan strategis, memperkirakan perkembangan situasi global dan regional dan memberikan masukan kepada pimpinan yang up to date. Yang terutama harus kita fahami adalah betapa pentingnya kemampuan TNI AU dengan daya “kepruknya.” Itulah prinsip dasarnya agar kita diperhitungkan. Semoga bermanfaat.
Catatan: masing-masing gambar berada pada kepemilikan dari pembuatnya, pemuatan hanya berdasarkan diskripsi semata.
Pengirim: Bapak Besar

Jumat, 21 November 2014

Memperkuat Armada Kapal Selam



Keteledoran beberapa rezim pemerintahan terdahulu dalam urusan pertahanan khususnya armada bawah laut adalah sikap mencla mencle dalam pengadaan alutsista strategis kapal selam.  Sejak era reformasi yang berjalan 16 tahun baru pada rezim SBY diputuskan melakukan pengadaan kapal selam Changbogo dari Korsel yang merupakan teknologi fotocopy U-209 Jerman, kurang lebih sama dengan Cakra Class yang sudah dimiliki Indonesia.

Tidak ada rotan akar pun jadilah, setidaknya itulah ungkapan nyanyian untuk menyenangkan hati pada sebuah lagu berjudul “Changbogo”.  Daripada tidak ada, ya diterima saja yang ada meski dapatnya pada tikungan terakhir. Karena bungkusan pengadaan itu berlabel transfer teknologi, sebuah paham baru dalam setiap pengadaan alutsista berteknologi modern.

KRI Nanggala 402

Saat ini sedang didengungkan melalui gelombang FM siaran pemerintah bahwa negara ini resmi menganut paham “maritimiyah” dalam perjalanan sejarahnya lima tahun ke depan. Artinya akan memaksimalkan potensi kemaritiman termasuk menjaga kedaulatan, kebanggaan, naluri bahari dan keuntungan finansial yang ada di dalamnya.  Laut dan kekayaan yang ada didalamnya adalah milik bangsa Indonesia dan akan dieksploitasi semaksimal mungkin, termasuk dijaga sekuat mungkin.  Itulah tekad yang sudah didengungkan.

Ironi selama hayat dikandung badan negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan justru tidak pernah memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan yang dimilikinya.  Berpuluh tahun hanya berorientasi pada “tanah tok” padahal jelas-jelas disebut “tanah air” Indonesia.  Sumber daya air, sumber daya kelautan, sumber daya perikanan dan sumber daya energi fosil di laut dibiarkan saja alias tidak dikelola dengan manajemen pemberdayaan.

Termasuk urusan pertahanan, yang diperkuat hanya matra darat sementara matra laut apalagi matra udara tak memiliki kekuatan pukul apalagi gebuk.  Lima tahun terakhir ini ada pergeseran perkuatan.  AL dan AU mulai diperkuat dengan mendatangkan berbagai alutsista berkualifikasi striking force.  Khusus untuk AL perkuatan armada tempurnya mengabaikan kekuatan alutsista bawah air. Mengapa demikian, karena 3 kapal selam buatan Korsel yang sedang dibangun itu belum mampu menggaharkan secara kualitas apalagi kuantitas.

Armada KRI, kapal selam harus mengawalnya
Ayo berhitung sederhana.  Jika seluruh program pengadaan kapal selam itu rampung tahun 2018 termasuk pembuatan 1 kapal selam di PT PAL, artinya kita memiliki 5 kapal selam termasuk 2 kapal selam tua Cakra dan Nanggala.  Tetapi banyak yang tak tahu ketika 3 kapal selam kelas Changbogo sudah operasional, 2 kapal selam Cakra Class mestinya sudah harus purna tugas.  Saat ini hanya KRI Nanggala saja yang bisa beroperasi penuh sementara saudara kembarnya KRI Cakra lebih banyak istirahat karena sering demam, termasuk demam panggung melihat kapal selam jenis lain yang dimiliki tetangga.

Sejarah telah membuktikan bahwa dengan kekuatan 12 kapal selam yang dimiliki Indonesia pada saat Trikora, merupakan faktor penggentar yang membuat Belanda harus cabut dari bumi Papua berdasarkan rekomendasi AS.  Soalnya pesawat mata-mata AS yang berpangkalan di Filipina waktu itu menangkap jelas kegiatan operasi kapal selam Indonesia di perairan Maluku.  Tetapi setelah itu kita seperti melupakan faktor penggentar yang mampu mewibawakan teritori laut NKRI itu. 

Tahun-tahun berikutnya satuan armada kapal selam seperti di bonsai bahkan sempat mati suri hanya dengan mengoperasikan KRI Pasopati di akhir tahun tujuh puluhan.  Mulai tahun delapan puluh sampai saat ini praktis kita hanya punya 2 kapal selam, ya sikembar itu Cakra dan Nanggala.  Bahu membahu mereka berdua menjalankan tugas rahasia dengan frekuensi tinggi.  Dua-duanya telah melaksanakan overhaul di Korsel, dua-duanya telah menjelajah lekuk-lekuk bawah air negeri ini tanpa pernah mengeluh. Kasihan banget si kembar itu yang memang harus “tabah sampai akhir”, sesuai motto korps Hiu Kencana.

Era presiden “maritim” Jokowi, kita sangat mengharapkan adanya revisi cara pandang, revisi cara lihat betapa kita harus punya alternatif lain untuk menambah kapal selam tanpa harus menunggu Changbogo selesai dibangun. Tegasnya ada perolehan percepatan pengadaan kapal selam dari jenis lain untuk memperbanyak kuantitas dan meninggikan kualitas armada kapal selam. 

Singapura sudah punya lima kapal selam dan pesan lagi 2 kapal selam teknologi Jerman terkini.  Padahal negerinya cuma seluas Batam.  Vietnam sudah punya 4 kapal selam Kilo dari Rusia, demikian juga Malaysia dengan 2 Scorpene.  Negeri-negeri itu punya kapal selam dengan teknologi dan persenjataan gahar sementara RI meski unggul dalam jumlah kapal perang atas air, armada kapal selamnya kalah kelas, jelas kalah kelas.  Itulah sebabnya memang harus “tabah sampai akhir”.

Harus ada penambahan minimal 4 kapal selam selain Changbogo.  Bisa saja dari Jerman atau Rusia, terserah pengambil kebijakan.  Kita butuh minimal 4 kapal selam selain Changbogo untuk menghadapi cuaca ekstrim yang diperkirakan akan terjadi di kawasan regional kita.  Tahun 2020 armada angkatan laut Cina sudah menjelma menjadi srigala.  Negara tetangga kita saja sudah bersiap dengan cuaca ekstrim dengan memperkuat armada kapal selam mereka.

Jangan sampai kita kembali “telat mikir” dengan membiarkan satuan kapal selam terlunta-lunta.  Sudah seharusnya kita menjadikan satuan kapal selam setara dengan kekuatan di era Trikora dan Dwikora.  Orientasi kemaritiman yang didengungkan dengan nada tinggi mestinya diimbangi dengan perkuatan armada laut khususnya satuan kapal selam. Bukankah ujung-ujung dari program kemaritiman itu adalah kewibawaan kedaulatan.  Komponen utama penjaga nilai itu adalah armada KRI dengan kekuatan bawah laut yang disegani.  Masih ada yang membantah ?
****
Jagvane/ 12 Nop 2014