Kamis, 29 Januari 2015

Minimum Essential Force TNI Tahap 2 (2015-2019)



 11 September 2013
 

S-60 57mm, Meriam Perisai Angkasa ‘Sepuh’ Arhanud TNI AD (photo:Arhanud)

Jika Australia hendak menyerang Indonesia, mungkin RAAF bisa menembus wilayah udara Indonesia untuk membom Jakarta. Namun bombardir itu tidak banyak mempengaruhi kekuatan militer Indonesia. Begitu pula dengan Angkatan Laut Australia dapat menembus perairan Indonesia dan mendarat di garis pantai. Namun setelah tiba di garis pantai, apa yang bisa mereka lakukan ?. Tidak banyak, karena jumlah pasukan Indonesia yang besar menjadi keunggulan Indonesia. Jika skenarionya dibalik Indonesia yang menyerang ke Australia, maka Indonesia belum memiliki kekuatan untuk itu. Konsep realistis Indonesia di renstra 1 dengan keterbatasan ini adalah, membentuk militer yang bersifat self defence. Berperang di wilayah sendiri, untuk mengusir agresor atau mengawasi flash point.

Saat ini belum semua alutsista TNI AD mengalami modernisasi. Dengan kondisi tersebut, dapat kita lihat Angkatan Darat memperkuat pasukan yang bersifat mobile, yang bisa digerakkan ke wilayah manapun dalam waktu cepat. Target ini dimasukkan dalam Rencana Strategis 1 (Renstra 1 :2010-2014) dengan munculnya pembelian MBT Leopard 2, IFV Marder, MLRS Astros II, Meriam Caesar 155 mm, ATGM NLAW, kendaraan taktis, hingga helikopter serang Apache AH-64 E. Semua yang dibeli bersifat mobile, dalam artian dapat digerakkan dengan cepat diangkut melalui kapal permukaan maupun pesawat angkut Hercules.

Untuk meningkatkan mobilitas pasukan mobile, Indonesia menambah pesawat angkut dengan membeli Hercules eks RAAF Australia. Begitu pula dengan persenjataan dan kemampuan prajurit Kostrad, terus ditingkatkan. Jangan heran, alutsista baru TNI AD, biasanya diserahkan kepada Kostrad. Hal ini karena pasukan Kostrad yang bisa digerakkan kemanapun di wilayah tanah air. Mereka tidak punya wilayah. Wilayah yang mereka tempati berada di bawah kendali Panglima Kodam.

Konsep renstra 1 Angkatan Darat, menyerupai target yang dikejar oleh TNI AU. Mereka menyiapkan fighter dan pesawat tempur yang bisa bergerak cepat, bertarung secara sengit di wilayah manapun di Indonesia. Angkatan Udara harus tampil prima, di tengah minimnya kemampuan arhanud dan pertahanan wilayah Indonesia. Untuk itu, Skuadron Sukhoi telah dilengkapi rudal berbagai jenis, dari air-to-air, air-to-ground, hingga rudal penghancur radar.

Pada renstra 1, pesawat tempur sukhoi TNI AU telah genap satu skuadron (16 pesawat ). Mereka juga mendapatkan tambahan satu skuadron (16 pesawat) pesawat super tucano untuk tempur taktis “close air support”, intai serta serangan anti-gerilya. Ada lagi 30 pesawat F-16 block 25/32 retrofit eks AS, serta pesawat latih T-50 i dari Korea Selatan yang bisa digungsikan sebagai air support, serta  UAV Heron komposit untuk pengawasan.

Di renstra 1, kekuatan Angkatan Laut ditujukan untuk bisa menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Fokus utama untuk renstra 1 adalah ancaman di wilayah Ambalat.

TNI AL telah memperkuat armada kapal selam mereka. Angkatan Laut juga membangun kekuatan strategis untuk kapal permukaan dengan memasang rudal yakhont 300 km di kapal Van Speijk Class. Menggabungkan sistem rudal Rusia dengan Kapal Nato patut dibanggakan. Jika pada uji pertama rudal yakhont overshoot terhadap sasaran, maka pada uji kedua telah mengenai sasaran. Betapa kuatnya daya hancur rudal yakhont, dalam hitungan detik kapal sasaran tembak langsung tenggelam. Ujicoba ketiga nanti seharusnya ditujukan terhadap sasaran bergerak dengan jangkauan 250-300km, untuk mengatahui apakah rudal yakhot frigate van speijk mampu men-tracking terus menerus sasaran yang bergerak. Ujicoba penembakan jarak jauh ini memerlukan helikopter OTHT yang sedang disiapkan TNI AL.
Kemampuan TNI AL memasang rudal yakhont di kapal sistem Nato, merupakan modal besar bagi TNI AL dan harus terus mengembangkannya secara maksimal. Bayangkan saja, kapal-kapal tua Indonesia menjadi disegani jika proyek rudal yakhont bisa sukses menghantam sasaran yang bergerak.


Marinir mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir masih membutuhkan 95 tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10 unit tipe BMP-3FK, dan 4 unit tipe BREM-L (photo:Dispenal)

Untuk modernisasi, TNI AL juga memesan 2 PKR Sigma ke Belanda serta membeli 3 light frigate Nakhoda Ragam Class dari Inggris. Sementara untuk urusan kuantitas, TNI AL membangun kapal-kapal kecil dengan kemampuan serang rudal. Diharapkan pada tahun 2013 ini KCR-60 pertama pesanan TNI AL sudah bisa diluncurkan plus dengan kemampuan serang rudal. Adapun untuk Marinir, pasukan ini mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir membutuhkan 95 tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10 unit tipe BMP-3FK, dan 4 unit tipe BREM-L dan akan penuhi secara bertahap.
Budget Renstra 2010-2014 untuk modernisasi Alutsista TNI, dianggarkan Rp 156 triliun, dengan Base Line Rp. 99 triliun dan On–Top Rp 57 triliun. Alhasil alutsista yang datang pada renstra 1 cukup membanggakan. 50 % dari budget tersebut, untuk pengembanagn dan modernisasi alutsista Angkatan Darat.
Bagaimana dengan Renstra II tahun 2015-2019 ?.
Pemerintah Indonesia membagi tiga tahapan Rencana Strategis (Renstra) dalam pembangunan Minimum Essential Force (MEF) untuk membentuk kekuatan pertahanan yang memadai. Fokus dari MEF ini adalah menitikberatkan pembangunan dan modernisasi alutsista beserta teknologinya, untuk menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Diantaranya, permasalahan perbatasan wilayah negara, terorisme, separatisme, konflik horisontal/komunal, pengelolaan pulau kecil terluar, serta turut serta dalam bantuan bencana.
Renstra II merupakan titik krusial yang bila dilalui dengan benar, akan membuat postur pertahanan Indonesia mandiri dan semakin berwibawa. Namun tantangan di renstra II ini sangat berat.
Untuk urusan Angkatan laut, saat ini Kementerian Pertahanan sedang menggarap proyek kapal selam Changbogo dengan Korea Selatan. Ditargetkan pada tahun 2015, kapal selam ketiga akan dibangun di PT PAL Surabaya, Jawa Timur. Begitu pula dengan kapal perang Perusak Kawal Rudal Sigma Belanda yang diharapkan bisa dibangun di Indonesia, menjadi program Korvet nasional atau Frigate Nasional.
Untuk Angkatan Udara, Kemenhan juga mempunyai proyek pembuatan fighter IFX/KFX dengan Korea Selatan, yang diharapkan prototype-nya selesai tahun 2015. Sementara Angkatan Darat sedang mengembangkan Tank Medium Pindad bekerjasama dengan Turki. Sementara di bidang peroketan, Indonesia sedang mengembangkan Roket Lapan, Rhan serta C-705.
Kalau proyek itu terealisasi, maka Indonesia bolehlah berbangga hati karena telah move-on. Tapi jika tidak berhasil, berarti kemampuan negeri ini baru sebatas membeli alutsista, dan akan semakin tertinggal dari negara-negara “satu lechting”, seperti; India, Pakistan, Iran, Turki, China, Korea Selatan, bahkan Korea Utara.
Pekerjaan rumah lainnya bagi pertahanan Indonesia adalah mengintegrasikan berbagai alutsista, di tengah kebijakan pengadaan alutsista yang menganut azas, perimbangan sumber dari negara barat dan Rusia. Perimbangan pengadaan alutssita dari dari negara barat dan Rusia ini, sebenarnya bisa dikatakan membuat pusing kepala. Bayangkan saja, anda membeli dua alat berteknologi canggih dari luar negeri yang mana anda tidak bisa membuatnya. Setelah anda beli, kedua alat itu harus anda integrasikan. Tentu ini tantangan yang berat dan perlu dikaji kembali. TNI harus memiliki platform yang jelas bagi sistem pertahanan laut, darat dan udara, untuk bisa diintegrasikan.
Pada renstra 2 akan ada pembentukan dan penempatan pasukan di beberapa wilayah strategis, seperti Divisi III Marinir di Sorong Papua. Sebanyak 15.000 pasukan marinir akan ditempatkan secara bertahap, untuk mendukung keamanan dan pertahanan di komando wilayah laut timur. Angkatan Laut juga membangun Pangkalan Kapal Selam baru di Palu, Sulawesi Tengah.
Sementara Angkatan Darat terus mengembangkan pasukan di bawah Kodam XII Tanjungpura yang berbatasan dengan Malaysia. Antara lain, Denzipur-6/SD di Anjungan menjadi Yonzipur di Mempawah, kemudian validasi Yonarmed 16/105 menjadi Yonarmed 16/Komposit di Ngabang, Kabupaten Landak serta pengembangan Denkav-2 Pontianak menjadi Yonkav. Kodam XII TPR bermarkas di Kabupaten Kubu Raya membawahi provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.


Latihan gabungan TNI 2013

Pertahanan Udara jarak Menengah
Tensi konflik di Laut China Selatan terus meningkat. Kabar terakhir, Pemerintah Filipina melaporkan China telah menyimpan balok-balok beton di Karang Scarborough. Filipina tidak bisa berbuat banyak. Konflik antara China dengan Filipina di Scarborough serta China dengan Jepang di Pulau Senkaku, diperkirakan akan terus meningkat.
Jika India dan China telah membangun kapal induk, tentu sangat wajar jika Indonesia memiliki destroyer atau the real frigate yang memiliki kemampuan pertahanan dan persenjataan yang baik. Indonesia harus berpikir out of the box dan jangan menyamakan alutsistanya dengan negara-negara kecil. Negara besar harus memiliki pertahanan yang kuat tapi teduh. Sekali -kali Indonesia-lah yang mengambil inisiatif dan angkatan bersenjata lain yang mengikuti. Keberadaan Destroyer akan menjadi lompatan bagi TNI AL sekaligus pelindung bagi armada laut Indonesia. Moto “di Laut Kita Jaya”, akan kembali dengan keberadaan destroyer ini. Operasi destroyer ini akan dijaga oleh kapal selam kilo class/ amur class yang sudah ditawarkan oleh Rusia untuk Indonesia.
Malaysia berencana membeli rudal anti kapal permukaan Brahmos, untuk melengkapi arsenal fighter Sukhoi mereka. Katakanlah jika pecah konflik di Ambalat, elemen mana yang akan melindungi armada laut Indonesia ?. Rudal itu bisa ditembakkan dari jarak jauh dan pesawat penyerang pun langsung menghilang. Serangan ini sulit diantisipasi oleh Fighter Indonesia, karena akan terlambat untuk mengantisipasinya.
Kehadiran distroyer di Angkatan Laut sekaligus penggentar bagi pihak asing yang mencoba-coba merebut wilayah Indonesia. Sudah waktunya pula bagi Australia untuk mengubah cara pikir mereka, bahwa Indonesia adalah negara lemah yang kekuatan militernya di bawah mereka. Dari proyeksi pertahanan Amerika Serikat atas kekuatan China, maka Indonesia yang lebih membutuhkan destroyer dibanding Australia, untuk menstabilkan Laut China Selatan.
Pengadaan destroyer ini dapat disertakan dengan pembelian Helikopter Serang Apache AH-64E. Kalau AS mengijinkan Indonesia menggunakan Apache AH-64E, maka sangat wajar jika Indonesia meminta pembelian Destroyer. Indonesia harus ikut berperan aktif dalam pengamanan Laut China Selatan. Keberadaan Destroyer harus dikaitkan dengan pengamanan Laut China Selatan.


Diagram first and second island chains of China tembus hingga ke Indonesia

Pihak TNI pernah meninjau destroyer milik AS. Chuck hagel juga kabarnya sempat menawarkan kapal perang kepada Indonesia, saat kontrak pengadaan Helikopter Serang Apache AH-64E.
Hal lain yang menjadi sorotan dari pertahanan Indonesia adalah tidak adanya pertahanan anti-udara jarak menengah. Kasus rencana serangan AS ke Suriah, menunjukkan betapa pentingnya sistem pertahanan jarak menengah sepeti S-300. Vladimir Putin saja mengakui sistem pertahanan S-300 menjadi faktor yang strategis bagi posisi pertahanan Suriah. Tidak heran, Iran pun mati-matian ingin mendapatkan sistem pertahanan anti-udara S-300 family.
Di jaman modern sekarang ini, peperangan dilakukan dari jarak jauh. Jika sebuah negara tidak memiliki pertahahan udara yang memadai, maka harus bersiap-siap untuk di-bully oleh lawan.
Kondisi SAM Indonesia saat ini memang memrihatinkan, karena mengandalkan S-60 retrofit, Bofors, Grom dan RBS-70 yang sudah tua. Ada pembelian startreak serta oerlikon skyshield, namun itu pun untuk pertahanan jarak pendek.

Usulan pengadaan pertahanan udara jarak menegah, sebenarnya sempat dilontarkan oleh Arhanud, karena situasi modern, sangat membutuhkan pertahanan menengah. Namun siapakah nantinya memegang sistem pertahanan udara jarak menengah-jauh  ini masih dilematis. Apakah di tangan Arhanud TNI AD atau di tangan TNI AU yang memang memiliki tugas pertahanan wilayah.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sempat menyinggung tentang perlunya rudal jarak menengah. Semoga yang dimaksud Wamenhan bukan Astros II yang dipasang amunisi peluru kendali. Sistem anti-udara S-300 family buatan Rusia patut dijadikan kandidat. Konflik di Suriah menunjukkan S-300 merupakan senjata deteren bagi pihak lawan.

Untuk sistem rudal sejak dulu Indonesia telah dekat dengan Uni-Soviet/Rusia. Jika pada tahun 1960-an TNI memiliki rudal antikapal permukaan KS-1 Komet dan rudal anti-udara jarak pendek, kini TNI memiliki Yakhont dan seharusnya rudal anti-udara jarak menengah. Tujuan dari sistem senjata anti-udara jarak menengah-jauh ini, tidak lain untuk objek vital nasional yang bersifat strategis.

Untuk unsur pasukan, Kualitas dan jumlah personel pertahanan: Kostrad, Marinir, Paskhas terus ditingkatkan diselaraskan dengan keberadaan komponen Cadangan Pertahanan.

Tidak kalah penting adalah meningkatan kemampuan industri militer dalam negeri seperti: LAPAN, Pindad, PT PAL, PT DI, BPPT, PT Dahana dan sebagainya. Diharapkan pada renstra 2, tank medium Pindad telah menemukan bentuknya. Begitu pula dengan kapal selam Changbogo yang sudah diproduksi di dalam negeri, Roket Rhan, C-705 anti-kapal serta prototype IFX. Bagaimana menurut Anda ? (JKGR).

Tidak ada komentar: