Keteledoran beberapa rezim pemerintahan
terdahulu dalam urusan pertahanan khususnya armada bawah laut adalah sikap
mencla mencle dalam pengadaan alutsista strategis kapal selam. Sejak era
reformasi yang berjalan 16 tahun baru pada rezim SBY diputuskan melakukan
pengadaan kapal selam Changbogo dari Korsel yang merupakan teknologi fotocopy
U-209 Jerman, kurang lebih sama dengan Cakra Class yang sudah dimiliki
Indonesia.
Tidak ada rotan akar pun jadilah, setidaknya
itulah ungkapan nyanyian untuk menyenangkan hati pada sebuah lagu berjudul
“Changbogo”. Daripada tidak ada, ya diterima saja yang ada meski dapatnya
pada tikungan terakhir. Karena bungkusan pengadaan itu berlabel transfer
teknologi, sebuah paham baru dalam setiap pengadaan alutsista berteknologi
modern.
Saat ini sedang didengungkan melalui gelombang FM siaran pemerintah bahwa negara ini resmi menganut paham “maritimiyah” dalam perjalanan sejarahnya lima tahun ke depan. Artinya akan memaksimalkan potensi kemaritiman termasuk menjaga kedaulatan, kebanggaan, naluri bahari dan keuntungan finansial yang ada di dalamnya. Laut dan kekayaan yang ada didalamnya adalah milik bangsa Indonesia dan akan dieksploitasi semaksimal mungkin, termasuk dijaga sekuat mungkin. Itulah tekad yang sudah didengungkan.
Ironi selama hayat dikandung badan
negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan justru tidak pernah
memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan yang dimilikinya. Berpuluh
tahun hanya berorientasi pada “tanah tok” padahal jelas-jelas disebut “tanah
air” Indonesia. Sumber daya air, sumber daya kelautan, sumber daya
perikanan dan sumber daya energi fosil di laut dibiarkan saja alias tidak
dikelola dengan manajemen pemberdayaan.
Termasuk urusan pertahanan, yang
diperkuat hanya matra darat sementara matra laut apalagi matra udara tak
memiliki kekuatan pukul apalagi gebuk. Lima tahun terakhir ini ada
pergeseran perkuatan. AL dan AU mulai diperkuat dengan mendatangkan berbagai
alutsista berkualifikasi striking force. Khusus untuk AL perkuatan armada
tempurnya mengabaikan kekuatan alutsista bawah air. Mengapa demikian, karena 3
kapal selam buatan Korsel yang sedang dibangun itu belum mampu menggaharkan
secara kualitas apalagi kuantitas.
Armada KRI, kapal selam harus mengawalnya
|
Ayo berhitung sederhana. Jika
seluruh program pengadaan kapal selam itu rampung tahun 2018 termasuk pembuatan
1 kapal selam di PT PAL, artinya kita memiliki 5 kapal selam termasuk 2 kapal
selam tua Cakra dan Nanggala. Tetapi banyak yang tak tahu ketika 3 kapal
selam kelas Changbogo sudah operasional, 2 kapal selam Cakra Class mestinya
sudah harus purna tugas. Saat ini hanya KRI Nanggala saja yang bisa
beroperasi penuh sementara saudara kembarnya KRI Cakra lebih banyak istirahat
karena sering demam, termasuk demam panggung melihat kapal selam jenis lain
yang dimiliki tetangga.
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan
kekuatan 12 kapal selam yang dimiliki Indonesia pada saat Trikora, merupakan
faktor penggentar yang membuat Belanda harus cabut dari bumi Papua berdasarkan
rekomendasi AS. Soalnya pesawat mata-mata AS yang berpangkalan di
Filipina waktu itu menangkap jelas kegiatan operasi kapal selam Indonesia di
perairan Maluku. Tetapi setelah itu kita seperti melupakan faktor
penggentar yang mampu mewibawakan teritori laut NKRI itu.
Tahun-tahun berikutnya satuan armada
kapal selam seperti di bonsai bahkan sempat mati suri hanya dengan
mengoperasikan KRI Pasopati di akhir tahun tujuh puluhan. Mulai tahun delapan
puluh sampai saat ini praktis kita hanya punya 2 kapal selam, ya sikembar itu
Cakra dan Nanggala. Bahu membahu mereka berdua menjalankan tugas rahasia
dengan frekuensi tinggi. Dua-duanya telah melaksanakan overhaul di
Korsel, dua-duanya telah menjelajah lekuk-lekuk bawah air negeri ini tanpa
pernah mengeluh. Kasihan banget si kembar itu yang memang harus “tabah sampai
akhir”, sesuai motto korps Hiu Kencana.
Era presiden “maritim” Jokowi, kita
sangat mengharapkan adanya revisi cara pandang, revisi cara lihat betapa kita
harus punya alternatif lain untuk menambah kapal selam tanpa harus menunggu
Changbogo selesai dibangun. Tegasnya ada perolehan percepatan pengadaan kapal
selam dari jenis lain untuk memperbanyak kuantitas dan meninggikan kualitas armada
kapal selam.
Singapura sudah punya lima kapal selam
dan pesan lagi 2 kapal selam teknologi Jerman terkini. Padahal negerinya
cuma seluas Batam. Vietnam sudah punya 4 kapal selam Kilo dari Rusia,
demikian juga Malaysia dengan 2 Scorpene. Negeri-negeri itu punya kapal
selam dengan teknologi dan persenjataan gahar sementara RI meski unggul dalam
jumlah kapal perang atas air, armada kapal selamnya kalah kelas, jelas kalah
kelas. Itulah sebabnya memang harus “tabah sampai akhir”.
Harus ada penambahan minimal 4 kapal
selam selain Changbogo. Bisa saja dari Jerman atau Rusia, terserah
pengambil kebijakan. Kita butuh minimal 4 kapal selam selain Changbogo
untuk menghadapi cuaca ekstrim yang diperkirakan akan terjadi di kawasan regional
kita. Tahun 2020 armada angkatan laut Cina sudah menjelma menjadi
srigala. Negara tetangga kita saja sudah bersiap dengan cuaca ekstrim
dengan memperkuat armada kapal selam mereka.
Jangan sampai kita kembali “telat
mikir” dengan membiarkan satuan kapal selam terlunta-lunta. Sudah
seharusnya kita menjadikan satuan kapal selam setara dengan kekuatan di era
Trikora dan Dwikora. Orientasi kemaritiman yang didengungkan dengan nada
tinggi mestinya diimbangi dengan perkuatan armada laut khususnya satuan kapal
selam. Bukankah ujung-ujung dari program kemaritiman itu adalah kewibawaan
kedaulatan. Komponen utama penjaga nilai itu adalah armada KRI dengan
kekuatan bawah laut yang disegani. Masih ada yang membantah ?
****
Jagvane/ 12 Nop 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar