Akhir bulan Maret mendatang, jika tidak
aral melintang Presiden SBY akan meresmikan batalyon Marinir 10 di Batam
Riau. Begitu penting kah sehingga peresmian sebuah satuan tempur
berkualifikasi serbu harus diresmikan oleh orang nomor satu di negeri
ini. Lalu adakah kaitannya dengan kegalauan Singapura mempermasalahkan
KRI Usman Harun dengan kehadiran satuan tempur “hantu laut” di depan rumahnya.
Penempatan satuan tempur secara
permanen di batas terdepan negara yang langsung berhadapan dengan halaman
tetangga memiliki arti penting dan strategis. Pembangunan batalyon Marinir 10
di pulau Setoko Batam adalah atas instruksi langsung panglima tertinggi
SBY. Sehingga suka atau tidak suka batalyon ini memiliki aura yang
berbeda dengan satuan lain meski personil yang akan mengisi satuan ini diambil
dari sejumlah batalyon Marinir di Jawa. Inilah satu-satunya batalyon
tempur Marinir yang berhadapan langsung dengan rumah sebelah. Ke depan
sangat dimungkinkan pengembangan satuan tempur ini menjadi setingkat Brigade.
Bagi Singapura sangat dimungkinkan
kehadiran batalyon serbu pantai ini menjadi beban mental. Karena sejarah
Singapura tentu mencatat kisah heroik 2 KKO (Korps Komando Operasi) Indonesia
yang menjalankan tugas one way ticket di negeri itu pada masa konfrontasi tahun
60an. Boleh saja kita memahaminya seperti ini: Dengan 2 KKO saja mereka merasa
tercabik apalagi dengan 1 batalyon penuh. KKO yang sekarang bernama
Marinir sangat luar biasa perkembangannya.
Indonesia saat ini memiliki dua divisi
Marinir dan sedang membangun divisi ketiga di Sorong Papua berkekuatan 15 ribu
pasukan berikut alutsistanya. Persenjataan yang dimiliki pasukan elite
angkatan laut saat ini terdiri dari 60 tank amfibi terbaru jenis BMP-3F,
ratusan tank dan panser jenis lain seperti PT76, BTR50, BTR80, APC-10, MLRS RM
Grad, Howitzer, Rudal QW3, Kapa dan lain-lain. Belanja alutsista untuk
Marinir jalan terus, terakhir dengan memesan 55 tank BTR-4 dari Ukraina.
Sebenarnya kalau Indonesia mau
“ngeledek” negeri mungil yang menggemaskan itu itu banyak cara bisa dilakukan,
ketika nama Usman Harun dipermasalahkan. Bisa saja nama batalyon 10 Marinir itu
dinamai Yon 10 Mar/Usman Harun atau pangkalan TNI AL di pulau Nipah
ditulis besar-besar bernama Lanal Usman Harun. Kalau mau lebih
spektakuler lagi Bandara Hang Nadim Batam diganti namanya menjadi Bandara Usman
Harun.
Tapi kita yakin persoalan pemberian
nama KRI Usman Harun hanya merupakan rengekan anak kecil yang tak harus
disikapi dengan panas hati. Biar saja dia merengek dan ngambek sampai
membatalkan undangan Singapore Air Show untuk petinggi Kemhan dan Panglima TNI
yang sudah dia buat sendiri. Yang rugi dia sendiri karena ajang pameran
alutsista itu tentu terkait dengan bisnis senjata dan dunia tahu bahwa
Indonesia adalah gadis manis yang sedang dikejar-kejar produsen senjata dunia.
Biar saja dia misalnya tak ikut Komodo
Naval Exercise di Natuna bulan depan, biarkan saja misalnya dia tak berminat
lagi dengan serial latihan Indopura AU dan AL. Biar saja, kita ikuti saja
aliran emosinya tanpa harus menanggapi. Ini salah satu cara mengajari dia
dengan mengedepankan kecerdasan diplomatik berwajah bening. Kita juga mau lihat
bagaimana nanti reaksinya ketika Presiden SBY hadir di Batam untuk meresmikan
batalyon Marinir 10. Logikanya karena ini peresmian satuan tempur elite
di garis depan yang diresmikan RI-1 tentu akan banyak kapal perang dan jet
tempur yang datang di Batam, apalagi ada even latgab Komodo bersama 17 negara
lain.
Makanya hari-hari ke depan ini kita
ikuti saja jalan cerita “sinetron” Usman Harun tanpa perlu mengepalkan tangan.
Kita juga ingin tahu seberapa dalam nilai kekecewaannya terhadap nama Usman
Harun itu. Bisa saja dalam bingkai politik dalam negerinya sebagai
pengalihan isu karena negeri itu baru saja dilanda rusuh ekspatriat yang
kebetulan sama warna etnisnya dengan Menlu Shanmugam. Bukankah efek dari
rusuh itu membekas di kalangan etnis tertentu disana dan sebagai lem perekatnya
dikeluarkanlah pernyataan galaunya sekaligus untuk mengukur kadar kebangsaaan
warga Singapura.
Bisa juga karena negeri itu gelisah
dengan perkembangan kekuatan ekonomi dan militer Indonesia. Bagaimanapun
negeri kepulauan besar di selatan dan timur negaranya dalam anggapannya punya
peluang besar mematikan eksistensinya di masa depan. Punya puluhan jet
tempur canggih tapi ruang udara terbatas, punya 6 kapal selam tetapi perairannya
secuil. Komposisi penduduknya yang lima setengah juta itu 45 persen
adalah pendatang. Ruang pandangnya sangat sempit karena ketika hendak
terbang begitu take off sudah harus ke luar negaranya. Bandingkan dengan
dua tetangganya Indonesia dan Malaysia yang menikmati sajian alam raya darat
air dan udara yang luas melimpah.
Dalam pandangan kita itulah sejatinya
kegelisahan eksistensi psikologis Singapura. Sebuah negara makmur,
sejahtera, semua ada apapun bisa, tapi miskin sumber daya alam dan terbatas
ruang gerak dan geliat pernafasan perjalanan berbangsanya. Maka
bersyukurlah kita kepada Allah telah dikarunia tanah air yang luas, subur dan
kaya meski penduduknya sebagian belum makmur sejahtera. Maka bersyukurlah
kita punya negara bernama Republik Indonesia yang kadar kebangsaannya
membanggakan. Maka bersyukurlah kita karena pengawal republik sedang
digagahperkasakan karena itu bagian dari jawaban agar tidak ada lagi tetangga
yang mencoba mendikte. Maka bersyukurlah kita karena Singapura ngambek
dengan nama Usman Harun karena setidaknya kita kembali membuka sejarah heoik
keduanya yang membanggakan nilai-nilai kebangsaan kita.
****
Jagvane / 10 Feb 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar